Tumbuhnya TV-TV swasta dengan sekian puluh ribu jam siar pertahunnya, telah menciptakan transportasi guna masuknya sinetron-sinetron ke media TV, terutama sinetron yang di asumsikan akan mendapat rating yang tinggi, seperti sinetron remaja, mistik, dan kekerasan. Sinetron seperti "Kisah Sedih di Malam Minggu" yang di bintangi artis remaja Marshanda bukan satu-satunya sinetron remaja yang di tayangkan televisi swasta yang mengandung glamoritas dan kekacauan nilai keluarga, sebagaimana sinetron remaja lainnnya.
Bahkan jika diamati sinetron-sinetron Indonesia dan (setengah Indonesia alias menyadur dari film-film Latin, India, dan Cina) yang di tayangkan dari pagi sampai malam yang kemudian di konsumsi penonton mayoritas menampakkan warna-warna yang kabur, kacau, dan membosankan (maaf, terkadang juga menjijikkan). Yang menjadi permasalahan lagi adalah bagaimana seharusnya kita mendefinisikan "kekerasan, glamoritas, dan mistis" itu, dan yang lebih rumit lagi mengetahui secara pasti sejauh mana dampaknya bagi penonton, khususnya bagi anak-anak dan remaja yang secara sosial psikologis dianggap masih rawan dan belum matang (mature) untuk mem-filter tayangan sinetron.
Harus kita akui memang benar sinetron memberikan peluang untuk terjadinya peniruan perilaku apakah itu positif atau negatif. Perilaku di sini dipahami sebagai manifestasi dari proses psikologis yang merentang dari persepsi sampai sikap. Suatu rangsangan dalam bentuk sinetron dipersepsi kemudian dimaknai berdasarkan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang. Jika tayangan tersebut sesuai, rangsangan itu akan dia hayati yang menyebabkan pembentukan sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot dan warna kepada pelaku. Oleh sebab itu, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan (Supriadi, 1997:127).
Untuk kita ketahui bersama, rangsangan yang ditimbulkan oleh televisi melalui program-programnya jauh lebih tinggi di bandingkan dengan media cetak. Karena, pada televisi gambar-gambarnya bersifat moving, sedangkan media cetak bersifat statis. Menurut psikologi gambar yang moving dapat "tertanam" dalam benak kita dalam tempo lama sekali. Makin besar daya pikatnya atau rangsangan yang di timbulkannya, makin dalam pula dampak yang di timbulkannya. Artinya, kita akan sering teringat dan membayangkannya (Lesmana, 1997:139). Banyak sistem pengaturan acara siaran televisi di dasarkan atas asumsi-asumsi mengenai perkembangan psikologis, misalnya membatasi usia penonton 17 tahun ke atas atau semua umur.
Di Amerika Serikat, sebelum film yang di warnai tindakan kekerasan (pembunuhan atau seks) di putar pada saluran kabel, ada himbauan yang kira-kira berbunyi:"Kebijaksanaan orang tua untuk tidak memperkenankan anak-anaknya untuk menonton film ini sangat di harapkan". Film-film yang hanya pantas di konsumsi orang dewasa diputar lewat tengah malam, ketika anak-anak sudah tidur.
Dengan tidak bermaksud mengkhususkan pada tayangan kekerasan sinetron di Indonesia, saya ingin merujuk satu pernyataan Himmelweit dalam Television and Child(1985) menyatakan sebagai berikut: Siaran televisi mengajari anak untuk mengenal kehidupan masyarakatnya dan masyarakat lain. Siaran televisi berfungsi sebagai wahana proses sosialisasi. Anak-anak diajari mengenal nilai-nilai luhur, tetapi mereka juga disuguhi nilai-nilai buruk.
Sebatas yang saya ketahui, dalam dunia ilmiah/akademis di Indonesia sampai saat ini belum memiliki kajian khusus yang mempelajari efek siaran televisi terhadap khalayak. Sementara ini yang baru muncul adalah masih sebatas hipotesis atau dugaan sementara mengenai ada-tidaknya, efek siaran televisi tersebut yang belum teruji melalui penelitian, jadi masih belum konklusif. Namun, sebagai anggota Komisi I DPR RI yang memang concern dengan bidang komunikasi dan informasi saya tidak ingin memperdebatkan masalah efek ini, karena yang ingin lebih saya soroti adalah persoalan bangsa ini berkenaan dengan habit nya dalam mengkonsumsi tayangan-tayangan sinetron dan praktik-praktik media yang cenderung permisif dalam membuat program-program yang tidak mendidik, bahkan merusak akhlak bangsa.
Selengkapnya...
Saturday, May 24, 2008
Sinetron = Pembodohan!
Diposting oleh Soero di 4:34 AM 0 komentar
Subscribe to:
Posts (Atom)